Dibutuhkan Kolaborasi Multipihak Demi Tingkatkan Kualitas dan Produksi Ekspor Rumput Laut

bibitunggul.co.id – Diskusi ini membahas berbagai tantangan dalam pengembangan produk lumput laut, juga mengidentifikasi solusi dalam menghadapi tantangan tersebut.

 Jaringan Sumber Daya (JaSuDa) bersama Yayasan WWF Indonesia menyelenggarakan diskusi multi pihak pada hari Selasa, 25 Januari 2022 dengan perwakilan pemerintah dan pelaku industri rumput laut mengangkat tema “Kajian Kebutuhan Industri dalam Pengembangan Sektor Rumput Laut”.

Dialog integrasi ini terjadi atas kesadaran bersama akan penurunan produksi rumput laut akibat krisis iklim dan masalah limbah ditingkatan rantai pasok, sehingga daya saing komoditas menurun.

Empat puluh pelaku industri rumput laut dari hulu hingga hilir, mulai dari pembudidaya, pengepul, koperasi, asosiasi, eksportir bahan baku serta prosesor di wilayah Sulawesi Selatan aktif terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan dengan metode daring dan tatap muka.

Rumput laut adalah komoditas unggulan nasional dengan kontribusi terhadap nilai ekspor Indonesia hingga 279 juta dolar AS di tahun 2020 (data Kementerian Kelautan dan Perikanan). Rumput laut juga menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir yang strategis karena selain mudah dibudidayakan, modal yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar. Namun, beberapa tahun terakhir ini telah terjadi penurunan produksi serta penurunan kualitas bibit rumput laut.

“Tahun ini, kami sering kekurangan bahan baku. Kekurangannya bisa sampai 70-120 ton per hari,” ujar Chen Xuan dari PT Biota Laut Ganggang.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam “Laporan Kinerja Tahunan 2021: Triwulan 3” menyebutkan bahwa produksi rumput laut menurun dari triwulan 3 tahun 2020 sebesar 7,78 juta ton menjadi 7,14 juta ton pada tahun 2021. Selain itu, hasil produksi ini juga berada di bawah target produksi yang sebesar 8,45 juta ton pada triwulan ketiga tahun 2021. Di lapangan, penurunan ini cukup dirasakan bagi para industri pengolahan dan eksportir.

DCIM100MEDIADJI_0232.JPG

Dalam diskusi ini juga mengemukakan berbagai tantangan yang dihadapi produsen rumput laut, baik tantangan dari sisi produksi maupun persyaratan dari pasar. Ada pun kendala yang ditemukan adalah tantangan perubahan iklim, kualitas bibit yang buruk, dan isu mikroplastik. Mengutip Mursalim, perwakilan dari Asosiasi Rumput Laut Indonesia saat ini masih dijumpai adanya pelaku budidaya rumput laut yang menggunakan pelampung serta tali bentangan berbahan plastik, di mana penggunaan bahan plastik menjadi perhatian khusus bagi mitra–mitra bisnis internasionalnya.

Agar usaha rumput laut yang produktif, pembudidaya sangat bergantung pada kalender budidaya yang disusun berdasarkan perhitungan cuaca dan musim. Namun kemudian, cara ini tidak lagi efektif diakibatkan oleh kondisi cuaca yang tidak menentu dengan adanya fenomena perubahan iklim. Suhu panas ekstrem serta curah hujan yang tinggi mempengaruhi tumbuh kembang bibit dan pertumbuhan budidaya rumput laut. Sehingga hal ini berdampak pada jumlah produksi yang kian menurun dari tahun ke tahun.

Di sisi lain, para pelaku usaha rumput laut juga berharap pemerintah mendukung melalui kebijakan yang mendukung produksi dengan pendampingan teknis teknologi budidaya 4.0, sertifikasi Cara Budidaya Ikan (termasuk didalamnya komoditas rumput laut) yang Baik (CBIB), serta sentralisasi daerah budidaya rumput laut oleh pemerintah daerah. Pendampingan ini telah banyak didukung oleh berbagai lembaga masyarakat yang peduli terhadap keberlangsungan usaha rumput laut, salah satunya Yayasan WWF Indonesia.

Adanya integrasi menyeluruh pada multisektor sangat dibutuhkan, termasuk perbaikan budidaya (best practices), investasi pihak eksportir dan industri pada sektor budidaya, perhitungan HPP terbaik bagi seluruh pihak untuk mencapai ekuilibrium secara ekonomis, perbaikan pengelolaan limbah, serta dukungan teknologi berbasis IoT (Internet of Things) menuju smart farming.

Hardi Haris, Kepala Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa sektor usaha rumput laut telah menyumbang 80% produksi perikanan budidaya di Sulawesi Selatan. Hal ini menjadikan provinsi ini sebagai produsen rumput laut tropis terbesar di Indonesia.

Asdar Marsuki, pelaku usaha rumput laut di Sulawesi Selatan mengatakan, “Persaingan usaha saat ini tidak hanya secara domestik, namun kami bersaing dengan para pelaku usaha dari negara lain dengan menjual komoditas yang sama. Hal ini patut menjadi pertimbangan para pelaku usaha rumput laut dalam negeri, untuk itulah perlu adanya sinergi dan penguatan dalam menghadapi persaingan global,”tuturnya.

Lebih lanjut Hardi mengatakan, “Para pembudidaya harus memperhatikan sanitasi dan kualitas produksi rumput laut. Jika hal seperti itu diperhatikan, maka kualitas akan terjaga serta kepercayaan pasar meningkat. Pelaku pembudidaya dengan pelaku industri juga diharapkan saling bekerja sama agar produksi terintegrasi dan berbasis kebutuhan pasar,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *