Apakah Mampu Food Estate Tangkal Krisis Pangan?

bibitunggul.co.id – Adapun wilayah yang menjadi pengembangan program food estate adalah Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun, upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut tak luput dari kritikan, di mana sejak wacana ini digulirkan, banyak ketidakpercayaan publik tentang pelaksanaan, pengelolaan, dan hasil dari pengadaan lumbung pangan.

 Di tengah tantangan risiko krisis pangan global yang melanda berbagai negara, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk memperkuat ketahanan pangan, salah satunya melalui proyek food estate atau lumbung pangan nasional.

Food Estate Tetap Jadi Harapan 

Pihaknya mengatakan bahwa food estate diperankan sebagai bangunan kelembagaan pemerintah untuk modernisasi, efisiensi, penciptaan nilai tambah dan bersinergi dengan korporasi petani sehingga akselerasi yang dilakukan pemerintah sangat strategis.

Namun di sisi lain, Pakar Pangan dari Universitas Brawijaya Malang, Sujarwo justru memuji program food estate yang dinilai sebagai corong utama ketahanan pangan yang patut diacungi jempol.

Pihaknya berharap food estate mampu menguatkan citra pertanian modern, berdaya saing dan memiliki kualitas yang dapat menembus pasar dunia, sehingga mengangkat citra kualitas produk-produk pertanian domestik.

“Dengan begitu, food estate akan menjadi instrument kebijakan pemerintah dalam rangka penguatan ketahanan pangan berkelanjutan dan membawa multiplier efek pada modernisasi pertanian nasional,” kata Sujarwo.

Food Estate Banjir Kritik

Dalam webinar dialog publik yang dilakukan pantaugambut beberapa waktu lalu, Iola Abas dari Pantau Gambut menyebut food estate tidak layak dilanjutkan. Menurutnya, hal yang menyebabkan krisis pangan terjadi justru karena alih fungsi lahan produktif
dan rantai pasok yang terlalu panjang, sehingga diperlukan upaya keseimbangan antara kebutuhan dan perkiraan dampak yang ditimbulkan.

Berbagai kalangan menilai program food estate menjadi kebijakan ‘kejar tayang’ yang minim kajian, terburu-buru, dan bertentangan dengan azas keterbukaan serta kepastian hukum. Bahkan beberapa kalangan menilai food estate bukanlah jawaban solusi dalam mengatasi krisis pangan. 

Sedangkan Bayu Herinata dari WALHI Kalimantan Tengah mengatakan, dari 700 hektare lahan food estate yang sudah ditanami singkong seluas 300 hektare, dibuka tanpa adanya ijin dan kajian analisis dampak lingkungan. Penanaman yang dilakukan oleh pihak ketiga pun sangat tidak dibenarkan dalam mengerjakan food estate, karena izinnya belum diterbitkan. Menurutnya, program Food Estate singkong di Kalimantan Tengah harus dihentikan dan dievaluasi.

Sementara Laksmi Adriani Savitri dari Center for Transdisiplinary and Sustainability Sciences (CTSS) Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebut, dari refleksi dua tahun program food estate di Humbang Sundutan, Sumatera Utara banyak ditemukan bukti pemborosan anggaran, meningkatnya konflik agraria, peminggiran masyarakat adat, dan hilangnya tanaman endemik yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *